Keberadaan Rantauprapat sebagai ibukota
Kabupaten Labuhanbatu di Sumatera Utara sekarang ini tak bisa
dilepaskan dari sejarah kehidupan para raja di daerah itu. Bahkan,
berhubungan langsung dengan kepentingan Kesultanan Bilah ketika itu.
Tapi, tak banyak pula warga kota
itu, khususnya dan masyarakat Kabupaten Labuhanbatu pada umumnya yang
mengetahui keberadaan belasan jejeran ruko tua di kawasan jalan veteran
d/h Jalan Martinus Lubis Rantauprapat merupakan awal bermulanya kota Rantauprapat.
Kawasan Pintu 10, itu merupakan istilah dari sepuluh pintu rumah toko
(rujo). Lokasinya, terletak di kawasan Jalan Veteran Rantauprapat d/h
Jalan Martinus Lubis, Rantauprapat. Ruko-ruko berasitektur tua itu,
memiliki histori tersendiri dalam pembentukan Kota Rantauprapat.
Pra
dan pasca Kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Pintu 10 merupakan
pusat keramaian di daerah Labuhanbatu ketika itu. Selain pusat kerajaan
Rantauprapat, bahkan kawasan itu juga sebagai pusat perniagaan. "Ya,
disana pusat keramaian ketika dulu," ungkap Kariaman alias Kau Sie (87),
salahseorang warga Kota Rantauprapat.
Menurutnya, khususnya
ketika tahun 50-an silam, dulunya kawasan Pintu 10 diramaikan para
pengunjung yang datang dari hulu dan hilir Sungai Bilah, Rantauprapat.
Katanya, ketika itu moda prasarana transportasi yang dominan adalah
sungai. Sarana transportasi juga berupa sampan.
Bahkan, ketika
itu kondisi dasar dan kuantitas air Sungai Bilah yang dalam dan arus
deras (berbeda dengan kondisi sekarang) masih banyak dilalui kapal
tongkang. "Dulu ke Rantauprapat orang-orang pribumi dari hulu dan hilir
naik perahu dan kapal tongkang. Kapal-kapal Tongkang dan perahu kayu
berseliweran di sepanjang Daerah Aliran Sungai Bilah," jelasnya.
Menuju
ke Pintu 10, ada dua pintu masuk, yakni, dari dermaga di kawasan
Paindoan dan Pekan Lama. Disana, tempat berlabuhnya kapal-kapal dari dan
ke Pintu 10 kota Rantauprapat. Jarak tempuh dari Pintu 10 ke lokasi
dermaga hanya berkisar 400 meter. "Kalau mau bepergian dari sungai,
melalui dermaga di Paindoan," tambah Kariaman.
Di kawasan Pintu
10, merupakan pusat Pemerintahan Kerajaan Rantauprapat dan juga pusat
bisnis. Disana, segala produk di perdagangakan dalam perniagaan. Sebab,
tak jauh dari Pintu 10, terdapat pusat perdagangan, yang kemudian hari
disebut dengan Pasar Lama Rantauprapat. Di Pasar Lama itu sendiri, para
pedagang dan pembeli ketika itu, masih menerapkan sistem perniagaan
dengan memakai pola barter.
Barang langsung ditukar dengan
barang. Pun, uang yang berlaku masih jenis tertentu dan mesti bertanda
khusus. "Atau, perdagangan menggunakan uang kertas yang berstempel,"
jelasnya.
Kata pria yang sekarang berprofesi sebagai pembuat
selai srikaya dan roti bantal di salahsatu kedai kopi terkenal di
kawasan Kota Rantauprapat itu berujar, pihak pedagang pribumi ketika itu
mendominasi perdagangan rempah-rempah dan sayuran. Sedangkan, pedagang
Tiongkok menjual produk-produk pabrikan. "Ya, orang-orang Cina dulu
hanya menjual makanan dan minuman kaleng," ujarnya.
Kepunyaan Raja Rantauprapat
Kapan
kawasan itu sudah menjadi pusat keramaian. Arifin Munthe, salahseorang
keturunan Raja Rantauprapat memberikan jawaban terkait pertanyaan itu.
Ketika
disambangi belum lama ini di kediamannya, menjelaskan jika kawasan itu
sekitar Tahun 1870-an sudah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan
Rantauprapat yang dipimpin seorang Raja bernama Mangaraja Lela Setia
Muda I. Tapi, sejak Tahun 1902, sesudah Raja Rantauprapat I mangkat dari
singasana, dan digantikan oleh anaknya Raja Putoro yang bergelar
Mangaraja Lela Setia Muda II, kondisi kawasan itupun semakin ramai.
Terlebih lagi, ketika itu Raja juga sudah mempersunting Tengku Maharani Putri Sultan Bilah yang terdapat di hilir Sungai Bilah.
Dimana,
pernikahan itu juga memiliki tujuan untuk mengakhiri perlawanan Patuan
Bolatan, salahseorang sepuh para Raja Rantauprapat yang selalu menentang
terhadap kebijakan-kebijakan Sultan Bilah. Padahal, ketika itu
Kekuasaan Sultan Bilah merupakan perpanjangan tangan pihak Kolonial
Belanda dalam mengumpulkan pajak dari keluarga para raja dan masyarakat.
Dalam
masa kekuasaannya itulah sekira tahun 1940, Raja Putoro, kemudian
berinisiatif membangun rumah tinggi berbahan batu bata yang permanen dan
diberinama Pintu 10," jelas Arifin Munthe seraya menambahkan, kemudian
hari jumlah ruko di sana bertambah menjadi 12. "Itu belakangan hari
bertambahnya," tegasnya.
Kemudian pada Tahun 1942, pihak Kerajaan
Rantauprapat memberikan hak pihak lain untuk menyewa ruko-ruko
tersebut. Tujuannya, guna menambah pendapatan pihak kerajaan. "Ya, untuk
menambah pendapatan pihak kerajaan, ruko itu disewakan ke pihak lain,"
jelasnya.
Tapi, ketika peralihan era kekuasaan Belanda ke pihak
Jepang, Raja Rantauprapat itu ditawan pihak penjajah. Tak pelak, Raja
Putoro akhirnya mendekam dalam sel tahanan milik Nippon sekitar Tahun
1942 hingga 1945. "Raja Putoro ditangkap Jepang. Penangkapannya
dilakukan di Dermaga Panidoan," tambahnya.
Bertepatan Tahun 1945
kekuasaan Jepang di perang Timur Raya hancur, kekuasaannya juga
berkurang di kawasan Kerajaan Rantauprapat. Konon lagi, Indonesia pun
memproklamirkan kemerdekaannya.
Karena itu, Raja Putoro juga
menerima anugerah Kemerdekaan Indonesia dengan pembebasannya dari sel
tahanan. Tapi, dampak tekanan dan penyiksaan demi penyiksaan yang
dilakukan pihak pasukan Jepang selama dalam tahanan membuat Raja Putoro
akhirnya sakit-sakitan.
Hari-hari setelah kebebasannya dari
penjara, akhirnya diwarnai proses perobatannya guna membebaskannya dari
sakit yang diderita. Hal itu, cukup berpengaruh.
Tak pelak, guna
membiayaai perobantannya, pihak kerajaan akhirnya menjual ruko Pintu 10
ke pihak lain. "Dipindahtangankan ke pihak lain untuk memenuhi biaya
perobatan. akhirnya ruko itu dijual," imbuh Arifin.
Kemudian, pada Tahun 1946, Raja Putoro juga akhirnya meninggal dunia.
Mengenang
nama Raja Rantauprapat, kata Arifin Munthe, sempat salahsatu nama jalan
di kawasan itu memakai nama Mangaraja Lela Setia Muda. Tapi, seiring
perkembangan jaman, keabadian nama itu pudar dampak pergantian nama
menjadi Jalan Martinus Lubis.
Rantauprapat yang kita
kenal hari ini tak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan para raja di
sekitar daerah itu. Keberadaan ibukota Kabupaten Labuhan Batu ini
berhubungan langsung dengan kepentingan Kesultanan Bilah ketika itu.
Namun tak banyak yang tahu sejarah ini. Bahkan masyarakat Labuhanbatu
sendiri tidak begitu paham tentang keberadaan belasan jejeran ruko tua
di kawasan Jalan Veteran dh Jalan Martinus Lubis di Rantauprapat.
Padahal ruko-ruko berpintu 10 inilah yang menjadi cikal bakal bermulanya
Kota Rantauprapat. Kawasan “Pintu 10” merupakan istilah yang biasa
dialamatkan pada sepuluh pintu rumah toko tersebut. Sebelum dan sesudah
kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Pintu 10 merupakan pusat
keramaian di daerah Labuhanbatu. Selain menjadi pusat Kerajaan
Rantauprapat, kawasan itu juga berperan sebagai pusat perniagaan. “Ya,
di sana pusat keramaian ketika dulu,” ungkap Kariaman alias Kau Sie
(87), salah seorang warga Kota Rantauprapat yang masih menyimpan
sepenggal ingatan mengenai kawasan ini. Menurutnya, pada tahun 50-an
silam, Pintu 10 diramaikan para pengunjung yang datang dari hulu dan
hilir Sungai Bilah, Rantauprapat. Ketika itu moda transportasi yang
dominan adalah sungai. Sarana transportasinya berupa sampan. Saat itu
dasar Sungai Bilah masih dalam dan berarus deras sehingga masih banyak
dilalui kapal tongkang. “Dulu, kalau mau ke Rantauprapat, orang-orang
pribumi yang datang dari Hulu dan Hilir menaiki perahu dan kapal
tongkang. Kapal-kapal Tongkang dan perahu kayu berseliweran di sepanjang
daerah aliran sungai Bilah,” jelasnya. Menuju ke Pintu 10, ada dua
pintu masuk. Salah satunya dari dermaga di kawasan Paindoan dan satunya
lagi dari Pekan Lama. Di sanalah tempat berlabuhnya kapal-kapal dari dan
ke Pintu 10. Jarak tempuh dari Pintu 10 ke lokasi dermaga hanya
berkisar 400 meter. “Kalau mau bepergian dari sungai, melalui Dermaga di
Paindoan,” tambah Kariaman. Di kawasan Pintu 10, berdirilah pusat
pemerintahan Kerajaan Rantauprapat. Di sana pula berlangsungnya kegiatan
bisnis. Segala produk diperdagangkan, sebab tak jauh dari Pintu 10,
terdapat pusat perdagangan yang kemudian hari disebut sebagai Pajak Lama
Rantauprapat. Di Pajak Lama para pedagang dan pembeli menerapkan sistem
perniagaan dengan pola barter. Barang langsung ditukar dengan barang.
Pun, uang yang berlaku masih jenis tertentu dan mesti bertanda khusus.
“Atau, perdagangan menggunakan uang kertas yang berstempel,” jelasnya.
Kariaman yang sekarang berprofesi sebagai pembuat selai srikaya dan roti
bantal di salah satu kedai kopi terkenal di Rantauprapat, mengatakan,
pedagang pribumi ketika itu mendominasi perdagangan rempah-rempah dan
sayuran. Sedangkan pedagang Tiongkok menjual produk-produk pabrikan.
“Ya, orang-orang Cina dulu hanya menjual makanan dan minuman kaleng,”
ujarnya. Sejak kapan kawasan itu menjadi pusat keramaian? Arifin Munthe,
salah seorang keturunan Raja Rantauprapat, menjelaskan, keramaian sudah
terjadi sekitar tahun 1870-an, yaitu ketika lokasi ini dipilih menjadi
pusat pemerintahan Kerajaan Rantauprapat yang dipimpin seorang raja
bernama Mangaraja Lela Setia Muda I. Tapi, sejak tahun 1902 sesudah Raja
Rantauprapat I mangkat dan digantikan oleh anaknya Raja Putoro yang
bergelar Mangaraja Lela Setia Muda II, kondisi kawasan itupun semakin
ramai. Terlebih lagi ketika itu Raja juga sudah mempersunting Tengku
Maharani, putri Sultan Bilah yang bermukim di hilir Sungai Bilah.
Pernikahan itu memiliki tujuan politik khusus, yakni untuk mengakhiri
perlawanan Patuan Bolatan, salah seorang sepuh para Raja Rantauprapat
yang selalu menentang kebijakan-kebijakan Sultan Bilah. Padahal, ketika
itu Kekuasaan Sultan Bilah merupakan perpanjangan tangan pihak Kolonial
Belanda dalam urusan pengumpulan pajak dari keluarga para raja dan
masyarakat. “Dalam masa kekuasaannya itulah, sekitar tahun 1940, Raja
Putoro berinisiatif membangun rumah tinggi berbahan batu bata yang
permanen dan diberi nama Pintu 10,” jelas Arifin Munthe seraya
menambahkan bahwa di kemudian hari jumlah ruko di sana bertambah menjadi
12. “Itu belakangan hari bertambahnya,” katanya. Kemudian pada tahun
1942, pihak Kerajaan Rantauprapat memberikan hak kepada pihak lain untuk
menyewa ruko-ruko tersebut. Tujuannya, guna menambah pendapatan pihak
kerajaan. “Ya, untuk menambah pendapatan pihak kerajaan, ruko itu
disewakan ke pihak lain,” jelas Arifin. Tapi ketika peralihan era
kekuasaan Belanda ke pihak Jepang, Raja Rantauprapat ditawan pihak
penjajah. Tak pelak, Raja Putoro akhirnya mendekam dalam sel tahanan
milik Nippon sekitar tahun 1942 hingga 1945. “Raja Putoro ditangkap
Jepang. Penangkapannya dilakukan di Dermaga Panidoan,” kata Arifin.
Bertepatan tahun 1945 kekuasaan Jepang di Perang Timur Raya hancur.
Kekuasaannya juga berkurang di kawasan Kerajaan Rantauprapat. Ditambah
lagi Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Raja Putoro juga menerima
kemerdekaan Indonesia bersamaan pembebasannya dari sel tahanan. Tapi
tekanan dan penyiksaan demi penyiksaan yang dilakukan pihak Jepang
selama dalam tahanan membuat Raja Putoro akhirnya sakit-sakitan.
Hari-hari kebebasannya dari penjara lebih banyak diwarnai proses
perobatannya guna membebaskannya dari sakit yang diderita. Guna
membiayaai perobatannya pihak kerajaan akhirnya menjual ruko Pintu 10 ke
pihak lain. “Dipindahtangankan ke pihak lain untuk memenuhi biaya
perobatan. Akhirnya ruko itu dijual,” kenang Arifin. Begitupun, pada
tahun 1946, Raja Putoro akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya itu.
Untuk mengenang nama Raja Rantauprapat, sempat juga salah satu nama
jalan di kawasan itu memakai nama Mangaraja Lela Setia Muda. Tapi
seiring perkembangan zaman, keabadian nama itu pudar, dan berganti
menjadi Jalan Martinus Lubis.
Rantauprapat yang kita
kenal hari ini tak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan para raja di
sekitar daerah itu. Keberadaan ibukota Kabupaten Labuhan Batu ini
berhubungan langsung dengan kepentingan Kesultanan Bilah ketika itu.
Namun tak banyak yang tahu sejarah ini. Bahkan masyarakat Labuhanbatu
sendiri tidak begitu paham tentang keberadaan belasan jejeran ruko tua
di kawasan Jalan Veteran dh Jalan Martinus Lubis di Rantauprapat.
Padahal ruko-ruko berpintu 10 inilah yang menjadi cikal bakal bermulanya
Kota Rantauprapat. Kawasan “Pintu 10” merupakan istilah yang biasa
dialamatkan pada sepuluh pintu rumah toko tersebut. Sebelum dan sesudah
kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Pintu 10 merupakan pusat
keramaian di daerah Labuhanbatu. Selain menjadi pusat Kerajaan
Rantauprapat, kawasan itu juga berperan sebagai pusat perniagaan. “Ya,
di sana pusat keramaian ketika dulu,” ungkap Kariaman alias Kau Sie
(87), salah seorang warga Kota Rantauprapat yang masih menyimpan
sepenggal ingatan mengenai kawasan ini. Menurutnya, pada tahun 50-an
silam, Pintu 10 diramaikan para pengunjung yang datang dari hulu dan
hilir Sungai Bilah, Rantauprapat. Ketika itu moda transportasi yang
dominan adalah sungai. Sarana transportasinya berupa sampan. Saat itu
dasar Sungai Bilah masih dalam dan berarus deras sehingga masih banyak
dilalui kapal tongkang. “Dulu, kalau mau ke Rantauprapat, orang-orang
pribumi yang datang dari Hulu dan Hilir menaiki perahu dan kapal
tongkang. Kapal-kapal Tongkang dan perahu kayu berseliweran di sepanjang
daerah aliran sungai Bilah,” jelasnya. Menuju ke Pintu 10, ada dua
pintu masuk. Salah satunya dari dermaga di kawasan Paindoan dan satunya
lagi dari Pekan Lama. Di sanalah tempat berlabuhnya kapal-kapal dari dan
ke Pintu 10. Jarak tempuh dari Pintu 10 ke lokasi dermaga hanya
berkisar 400 meter. “Kalau mau bepergian dari sungai, melalui Dermaga di
Paindoan,” tambah Kariaman. Di kawasan Pintu 10, berdirilah pusat
pemerintahan Kerajaan Rantauprapat. Di sana pula berlangsungnya kegiatan
bisnis. Segala produk diperdagangkan, sebab tak jauh dari Pintu 10,
terdapat pusat perdagangan yang kemudian hari disebut sebagai Pajak Lama
Rantauprapat. Di Pajak Lama para pedagang dan pembeli menerapkan sistem
perniagaan dengan pola barter. Barang langsung ditukar dengan barang.
Pun, uang yang berlaku masih jenis tertentu dan mesti bertanda khusus.
“Atau, perdagangan menggunakan uang kertas yang berstempel,” jelasnya.
Kariaman yang sekarang berprofesi sebagai pembuat selai srikaya dan roti
bantal di salah satu kedai kopi terkenal di Rantauprapat, mengatakan,
pedagang pribumi ketika itu mendominasi perdagangan rempah-rempah dan
sayuran. Sedangkan pedagang Tiongkok menjual produk-produk pabrikan.
“Ya, orang-orang Cina dulu hanya menjual makanan dan minuman kaleng,”
ujarnya. Sejak kapan kawasan itu menjadi pusat keramaian? Arifin Munthe,
salah seorang keturunan Raja Rantauprapat, menjelaskan, keramaian sudah
terjadi sekitar tahun 1870-an, yaitu ketika lokasi ini dipilih menjadi
pusat pemerintahan Kerajaan Rantauprapat yang dipimpin seorang raja
bernama Mangaraja Lela Setia Muda I. Tapi, sejak tahun 1902 sesudah Raja
Rantauprapat I mangkat dan digantikan oleh anaknya Raja Putoro yang
bergelar Mangaraja Lela Setia Muda II, kondisi kawasan itupun semakin
ramai. Terlebih lagi ketika itu Raja juga sudah mempersunting Tengku
Maharani, putri Sultan Bilah yang bermukim di hilir Sungai Bilah.
Pernikahan itu memiliki tujuan politik khusus, yakni untuk mengakhiri
perlawanan Patuan Bolatan, salah seorang sepuh para Raja Rantauprapat
yang selalu menentang kebijakan-kebijakan Sultan Bilah. Padahal, ketika
itu Kekuasaan Sultan Bilah merupakan perpanjangan tangan pihak Kolonial
Belanda dalam urusan pengumpulan pajak dari keluarga para raja dan
masyarakat. “Dalam masa kekuasaannya itulah, sekitar tahun 1940, Raja
Putoro berinisiatif membangun rumah tinggi berbahan batu bata yang
permanen dan diberi nama Pintu 10,” jelas Arifin Munthe seraya
menambahkan bahwa di kemudian hari jumlah ruko di sana bertambah menjadi
12. “Itu belakangan hari bertambahnya,” katanya. Kemudian pada tahun
1942, pihak Kerajaan Rantauprapat memberikan hak kepada pihak lain untuk
menyewa ruko-ruko tersebut. Tujuannya, guna menambah pendapatan pihak
kerajaan. “Ya, untuk menambah pendapatan pihak kerajaan, ruko itu
disewakan ke pihak lain,” jelas Arifin. Tapi ketika peralihan era
kekuasaan Belanda ke pihak Jepang, Raja Rantauprapat ditawan pihak
penjajah. Tak pelak, Raja Putoro akhirnya mendekam dalam sel tahanan
milik Nippon sekitar tahun 1942 hingga 1945. “Raja Putoro ditangkap
Jepang. Penangkapannya dilakukan di Dermaga Panidoan,” kata Arifin.
Bertepatan tahun 1945 kekuasaan Jepang di Perang Timur Raya hancur.
Kekuasaannya juga berkurang di kawasan Kerajaan Rantauprapat. Ditambah
lagi Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Raja Putoro juga menerima
kemerdekaan Indonesia bersamaan pembebasannya dari sel tahanan. Tapi
tekanan dan penyiksaan demi penyiksaan yang dilakukan pihak Jepang
selama dalam tahanan membuat Raja Putoro akhirnya sakit-sakitan.
Hari-hari kebebasannya dari penjara lebih banyak diwarnai proses
perobatannya guna membebaskannya dari sakit yang diderita. Guna
membiayaai perobatannya pihak kerajaan akhirnya menjual ruko Pintu 10 ke
pihak lain. “Dipindahtangankan ke pihak lain untuk memenuhi biaya
perobatan. Akhirnya ruko itu dijual,” kenang Arifin. Begitupun, pada
tahun 1946, Raja Putoro akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya itu.
Untuk mengenang nama Raja Rantauprapat, sempat juga salah satu nama
jalan di kawasan itu memakai nama Mangaraja Lela Setia Muda. Tapi
seiring perkembangan zaman, keabadian nama itu pudar, dan berganti
menjadi Jalan Martinus Lubis.
hjhjhjhjhgjhgjRantauprapat yang kita
kenal hari ini tak bisa dilepaskan dari sejarah kehidupan para raja di
sekitar daerah itu. Keberadaan ibukota Kabupaten Labuhan Batu ini
berhubungan langsung dengan kepentingan Kesultanan Bilah ketika itu.
Namun tak banyak yang tahu sejarah ini. Bahkan masyarakat Labuhanbatu
sendiri tidak begitu paham tentang keberadaan belasan jejeran ruko tua
di kawasan Jalan Veteran dh Jalan Martinus Lubis di Rantauprapat.
Padahal ruko-ruko berpintu 10 inilah yang menjadi cikal bakal bermulanya
Kota Rantauprapat. Kawasan “Pintu 10” merupakan istilah yang biasa
dialamatkan pada sepuluh pintu rumah toko tersebut. Sebelum dan sesudah
kemerdekaan Republik Indonesia, kawasan Pintu 10 merupakan pusat
keramaian di daerah Labuhanbatu. Selain menjadi pusat Kerajaan
Rantauprapat, kawasan itu juga berperan sebagai pusat perniagaan. “Ya,
di sana pusat keramaian ketika dulu,” ungkap Kariaman alias Kau Sie
(87), salah seorang warga Kota Rantauprapat yang masih menyimpan
sepenggal ingatan mengenai kawasan ini. Menurutnya, pada tahun 50-an
silam, Pintu 10 diramaikan para pengunjung yang datang dari hulu dan
hilir Sungai Bilah, Rantauprapat. Ketika itu moda transportasi yang
dominan adalah sungai. Sarana transportasinya berupa sampan. Saat itu
dasar Sungai Bilah masih dalam dan berarus deras sehingga masih banyak
dilalui kapal tongkang. “Dulu, kalau mau ke Rantauprapat, orang-orang
pribumi yang datang dari Hulu dan Hilir menaiki perahu dan kapal
tongkang. Kapal-kapal Tongkang dan perahu kayu berseliweran di sepanjang
daerah aliran sungai Bilah,” jelasnya. Menuju ke Pintu 10, ada dua
pintu masuk. Salah satunya dari dermaga di kawasan Paindoan dan satunya
lagi dari Pekan Lama. Di sanalah tempat berlabuhnya kapal-kapal dari dan
ke Pintu 10. Jarak tempuh dari Pintu 10 ke lokasi dermaga hanya
berkisar 400 meter. “Kalau mau bepergian dari sungai, melalui Dermaga di
Paindoan,” tambah Kariaman. Di kawasan Pintu 10, berdirilah pusat
pemerintahan Kerajaan Rantauprapat. Di sana pula berlangsungnya kegiatan
bisnis. Segala produk diperdagangkan, sebab tak jauh dari Pintu 10,
terdapat pusat perdagangan yang kemudian hari disebut sebagai Pajak Lama
Rantauprapat. Di Pajak Lama para pedagang dan pembeli menerapkan sistem
perniagaan dengan pola barter. Barang langsung ditukar dengan barang.
Pun, uang yang berlaku masih jenis tertentu dan mesti bertanda khusus.
“Atau, perdagangan menggunakan uang kertas yang berstempel,” jelasnya.
Kariaman yang sekarang berprofesi sebagai pembuat selai srikaya dan roti
bantal di salah satu kedai kopi terkenal di Rantauprapat, mengatakan,
pedagang pribumi ketika itu mendominasi perdagangan rempah-rempah dan
sayuran. Sedangkan pedagang Tiongkok menjual produk-produk pabrikan.
“Ya, orang-orang Cina dulu hanya menjual makanan dan minuman kaleng,”
ujarnya. Sejak kapan kawasan itu menjadi pusat keramaian? Arifin Munthe,
salah seorang keturunan Raja Rantauprapat, menjelaskan, keramaian sudah
terjadi sekitar tahun 1870-an, yaitu ketika lokasi ini dipilih menjadi
pusat pemerintahan Kerajaan Rantauprapat yang dipimpin seorang raja
bernama Mangaraja Lela Setia Muda I. Tapi, sejak tahun 1902 sesudah Raja
Rantauprapat I mangkat dan digantikan oleh anaknya Raja Putoro yang
bergelar Mangaraja Lela Setia Muda II, kondisi kawasan itupun semakin
ramai. Terlebih lagi ketika itu Raja juga sudah mempersunting Tengku
Maharani, putri Sultan Bilah yang bermukim di hilir Sungai Bilah.
Pernikahan itu memiliki tujuan politik khusus, yakni untuk mengakhiri
perlawanan Patuan Bolatan, salah seorang sepuh para Raja Rantauprapat
yang selalu menentang kebijakan-kebijakan Sultan Bilah. Padahal, ketika
itu Kekuasaan Sultan Bilah merupakan perpanjangan tangan pihak Kolonial
Belanda dalam urusan pengumpulan pajak dari keluarga para raja dan
masyarakat. “Dalam masa kekuasaannya itulah, sekitar tahun 1940, Raja
Putoro berinisiatif membangun rumah tinggi berbahan batu bata yang
permanen dan diberi nama Pintu 10,” jelas Arifin Munthe seraya
menambahkan bahwa di kemudian hari jumlah ruko di sana bertambah menjadi
12. “Itu belakangan hari bertambahnya,” katanya. Kemudian pada tahun
1942, pihak Kerajaan Rantauprapat memberikan hak kepada pihak lain untuk
menyewa ruko-ruko tersebut. Tujuannya, guna menambah pendapatan pihak
kerajaan. “Ya, untuk menambah pendapatan pihak kerajaan, ruko itu
disewakan ke pihak lain,” jelas Arifin. Tapi ketika peralihan era
kekuasaan Belanda ke pihak Jepang, Raja Rantauprapat ditawan pihak
penjajah. Tak pelak, Raja Putoro akhirnya mendekam dalam sel tahanan
milik Nippon sekitar tahun 1942 hingga 1945. “Raja Putoro ditangkap
Jepang. Penangkapannya dilakukan di Dermaga Panidoan,” kata Arifin.
Bertepatan tahun 1945 kekuasaan Jepang di Perang Timur Raya hancur.
Kekuasaannya juga berkurang di kawasan Kerajaan Rantauprapat. Ditambah
lagi Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Raja Putoro juga menerima
kemerdekaan Indonesia bersamaan pembebasannya dari sel tahanan. Tapi
tekanan dan penyiksaan demi penyiksaan yang dilakukan pihak Jepang
selama dalam tahanan membuat Raja Putoro akhirnya sakit-sakitan.
Hari-hari kebebasannya dari penjara lebih banyak diwarnai proses
perobatannya guna membebaskannya dari sakit yang diderita. Guna
membiayaai perobatannya pihak kerajaan akhirnya menjual ruko Pintu 10 ke
pihak lain. “Dipindahtangankan ke pihak lain untuk memenuhi biaya
perobatan. Akhirnya ruko itu dijual,” kenang Arifin. Begitupun, pada
tahun 1946, Raja Putoro akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya itu.
Untuk mengenang nama Raja Rantauprapat, sempat juga salah satu nama
jalan di kawasan itu memakai nama Mangaraja Lela Setia Muda. Tapi
seiring perkembangan zaman, keabadian nama itu pudar, dan berganti
menjadi Jalan Martinus Lubis.